Do you know about KAWAH IJEN??
Kawah Ijen merupakan danau yang besar berwarna
hijau kebiruan dengan kabut dan asap belerang yang sangat mempesona. Berbagai
tanaman yang hanya ada di dataran tinggi juga dapat Anda temukan di Kawah Ijen,
seperti Bunga Edelweiss dan Cemara Gunung.
Kawah Ijen memang sebuah
objek wisata yang merupakan tempat untuk melepas lelah, mengaplikasikan bakat
fotografi dan untuk bersenang-senang, tapi tak kau tengok orang-orang yang
mengenakan pakaian lusuh, dengan senyumnya yang tak pernah redup dan tak
hentinya menyapa setiap pengunjung yang sedang mendaki? Dapat kita lihat
wajahnya yang memancarkan aroma keletihan yang luar biasa, fisiknya yang kurus
karena beban kewajiban yang harus ia kerjakan,berjuta tetesan keringat yang
mengiringi langkah kemana ia membawa banyak sekali Mutiara Kuning dari lembah
Ijen yang merupakan sebuah “Berlian” agar dapat menyambung hidup keluarga yang
tlah menunggunya untuk kembali kerumah.
Kehidupan sosial penambang belerang sangat terjaga dengan
baik, para penambang berangkat dan pulang bekerja bersama-sama dalam setiap
aktivitasnya sebagai penambang. Rasa
sosial yang tinggi ditunjukkan dengan adanya sebuah kepedulian dan rasa
kehilangan, jika salah satu teman mereka tidak bekerja. Adanya kebiasaan
bercanda bersama saat penambangan membuat mereka terikat pada suatu ikatan
emosional yang tinggi.
Mereka adalah objek utama wisata, salah satu alasan kuat
mengapa ada banyak sekali turis datang mengunjungi daerah wisata ini. Sosok orang yang patut kita perhatikan dan teladani semangat yang
mereka miliki seakan tak pernah termakan zaman. Keramahan, kepedulian, serta
kegigihan yang patut kita contoh untuk bersama-sama membangun negeri ini agar
lebih pantas untuk dikatakan sebagai negara yang Merdeka!
Orang-orang yang sehari-harinya bermandi keringat itu
adalah kumpulan penambang belerang tradisional yang dimiliki oleh Bondowoso
tercinta. Mereka adalah seseorang yang pantas dikatakan sebagai orang-orang
yang kuat dan hebat, tidak semua yang dikatakan hebat adalah orang yang
memiliki pengetahuan yang luas, berpendidikan, sarjana dan berprestasi, tetapi
orang hebat adalah orang yang tegar dan tetap semangat menjalani hidup yang
pahit ini dengan senyuman, dan orang hebat adalah seseorang yang mampu bangkit
ditengah keterpurukan yang melanda hidupnya. Mengapa demikian? Bayangkan saja, Beban yang diangkut masing-masing
penambang belerang beratnya mencapai 85-100 kg. Beban ini luar biasa berat buat
kebanyakan orang, apalagi belerang diangkut melalui dinding kaldera yang curam
dan 800 m menuruni gunung sejauh 3 km. Terlebih, Penghasilan yang diterima
seorang pemikul rata-rata 25 ribu rupiah per harinya. Seorang pemikul biasanya
hanya mampu membawa turun satu kali setiap harinya, karena beratnya pekerjaan.
Bukan hanya itu, mereka dengan
beraninya mendekati danau untuk menggali belerang dengan peralatan sederhana
lalu dipikul dengan keranjang. Para penambang belerang ini mengambil belerang
dari dasar kawah. Disana asapnya cukup tebal, namun dengan peralatan penutup
hidung sekadarnya seperti sarung, mereka tetap mencari lelehan belerang tanpa
kenal lelah. Lelehan belerang didapat dari pipa yang menuju sumber gas vulkanik
yang mengandung sulfur. Gas ini dialirkan melalui pipa lalu keluar dalam bentuk
lelehan belerang berwarna merah. Setelah membeku belerang berwarna kuning. Setelah
belerang dipotong, para penambang akan memikulnya melalui jalan setapak.
Selain harus melewati jalan-jalan yang curam, kandungan
asap yang dikeluarkan dari belerang nyaris membahayakan, dapat mengakibatkan
rasa mual, pusing juga dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru karena asap
yang dikeluarkan dari kawah dimana tempat
bebatuan belerang berada dan karena terlalu sering menghirup asap
tersebut tanpa menggunakan masker.
Menurut informasi yang
saya dapatkan, Senyawa organik yang terkandung
dalam belerang sangat penting. Yaitu meliputi, Kalsium sulfur, ammonium sulfat,
karbon disulfida, belerang dioksida dan asam sulfida.
Begitu berat bukan? Pekerjaan yang mereka
tekuni selama ini sesungguhnya adalah salah satu jenis pekerjaan maut.
Pekerjaan melelahkan dan berbahaya
ini juga dilakukan sejak jam 3 pagi sampai jam 3 sore dengan harga perkilo ± 600
rupiah. Sehingga apabila mereka sanggup membawa beban rata – rata 70 kg
perpikulan dengan 3 pikul yang artinya 3 kali pulang pergi maka mereka hanya
mendapat 126 ribu per-hari. Namun, hari kerja mereka rata – rata adalah 2 hari
kerja dan 1 hari libur. Sebagai tambahan pendapatan mereka seringkali menjual
souvenir patung cetakan dari belerang murni mereka dengan harga 5ribu perbiji.
Juga seringkali mereka bertindak materilistis dengan meminta bayaran 10 ribu
per-pose apabila mereka dipotret utuh ketika bekerja. Memang mungkin bila
dihitung kasar pekerjaan marabahaya ini begitu menggiurkan namun,berdasarkan pengamatan,
memang pendapatan mereka cukup besar, akan tetapi mengapa rata-rata para
penambang belerang hidup secara sederhana dan mengalami kesulitan ekonomi?
Secara logika, mereka tergolong
masyarakat “bagian bawah” mungkin karena beberapa faktor. Salah satunya disebabkan
oleh SDM yang rendah. Karena, mayoritas masyarakat yang tinggal di daerah-daerah
terpencil masih belum mampu berpikir secara kritis. Misalnya, mereka sebagai
penambang belerang masih belum mampu mengolah pendapatan yang mereka terima
dengan sebaik mungkin. Dan mereka tergolong masyarakat yang “konsumtif”. Mungkin
beberapa dari mereka tak memiliki pemikiran untuk menyimpan sebagian pendapatan
yang mereka terima sebagai tabungan. Hal ini dikarenakan masyarakat disana
memiliki pola pemikiran yang sederhana. Dengan pola pemikiranan yang demikian, kehidupan
seseorang tak akan pernah maju meskipun pendapatan yang mereka peroleh besar
sekalipun.
Faktor lainnya yaitu, Pendidikan
yang rendah (masih terkait dengan pola pemikiran yang sederhana). Contohnya, Di
kawasan Kawah Ijen, terutama mereka yang bertempat tinggal di lereng Gunung
Ijen, lebih memilih untuk bekerja sebagai penambang belerang. Pilihan ini
diambil karena untuk menjadi penambang belerang tidak membutuhkan pendidikan
yang tinggi, melainkan hanya kerja keras dan kekuatan fisik.
Faktor yang
mempengaruhi berikutnya, yaitu dengan di naikkannya harga belerang menjadi 600
rupiah perkilogramnya, keputusan ini tidak banyak membantu para penambang dalam
mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi bagi mereka yang memiliki anak
dalam jumlah yang banyak serta para penambang yang memang sudah berusia lanjut
dan tidak kuat lagi mengangkat beban yang terlalu berat, akhirnya para
penambang yang tergolong manula ini mengangkut belerang semampunya tanpa adanya
target hasil. Keadaan ini juga yang membuat kehidupan ekonomi para penambang
menjadi sangat minim.
Kondisi penambang belerang memang semakin
memprihatinkan, yang mana ekonomi mereka semakin sulit dikarenakan semakin
mahalnya barang-barang kebutuhan pokok yang harus dibeli semakin mahal.
Sehingga masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk penambang belerang akan
semakin terpuruk kondisinya. Kenaikan harga kebutuhan hidup dikhawatirkan
berdampak kepada kehidupan para penambang belerang khususnya kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya dan jika tidak dirumuskan kebijakan yang memihak
rakyat kecil maka akan memunculkan dampak sosial yang sangat besar di
masyarakat seperti peningkatan jumlah kemiskinan, meningkatnya jumlah
pengangguran dan masalah-masalah sosial lainnya.
Bukan
hanya itu, pada tahun 2009, para penampung belerang mereka yaitu perusahaan
gula di Banyuwangi mayoritas sudah mulai mengurangi pembelian mereka akan
belerang kawah ijen, ini dikarenakan mengimpor belerang dari Singapura lebih
murah. Jadi bila hal ini dibiarkan terus menerus maka kemungkinan tahun-tahun
berikutnya kita bisa saja tidak melihat aktivitas para penambang Belerang ini. Walau
memang aktivitas ini sejatinya kurang beradab.
Bahkan ada beberapa masalah yang
dialami oleh para penambang belerang di daerah sana, antara lain yaitu Kegiatan
penambangan ternyata sempat menimbulkan kontroversi. Akibat keuntungan yang
menjanjikan, sempat juga dipaksakan sebuah proyek pembuatan pipa saluran yang
dapat langsung menuju tempat olahan di pinggir jalan raya. Namun, karena
desakan beberapa LSM lingkungan setempat yang merasa keberatan akan kerusakan
lingkungan yang mungkin terjadi dari pembangunan tersebut, akhirnya proyek itu
tidak jadi dilaksanakan. Bisa dibayangkan memang bila proyek tersebut benar
terjadi, berapa banyak daerah yang akan tergerus, belum lagi dampak hilangnya
mata pencaharian para penambang tradisional yang sudah puluhan tahun menambang
di Gunung Ijen.
Hal ini yang menjadi beberapa
kendala bagi para penambang dan membuat kondisi perekonomian mereka masuk dalam
kategori rendah. Belum lagi dampak dalam diri penambang belerang sendiri, yakni
kerusakan paru-paru akibat gas yang dikeluarkan oleh kawah dimana tempat
bebatuan belerang berada.
Meski demikian, masih dapat kita
lihat bersama senyum keikhlasan yang terpancar dari raut wajah mereka yang
sebenarnya menyimpan berbagai masalah kehidupan yang suatu saat nanti mampu
membuat mata pencaharian yang sudah mereka tekuni bertahun-tahun perlahan pupus
dan hilang. Pekerjaan yang sangat berbahaya dan cukup mematikan ini hanyalah
satu-satunya yang membantu mereka untuk tetap bertahan hidup dan menghidupi
keluarganya.
Lalu,
untuk menambah penghasilan, mereka juga banyak yang menawarkan jasa mengantar
hingga ke lokasi pertambangan. Dengan demikian, jangan sebut mereka
matrealistis atau pamrih dalam menolong para wisatawan. Karena untuk bisa
mencapai Kawah Ijen dan lokasi tambang belerang, dari puncak kita masih harus
berjalan sekitar satu kilometer dengan trek yang sangat sulit juga batuan
kering yang terjal. Kita harus sangat memperhatikan setiap langkah kaki yang
diambil karena sangat berbahaya bagi penambang yang masih di bawah apabila ada
batu yang jatuh akibat salah langkah.Jadi,kita sudah tau bukan alasannya?
Menjadi seorang guide tidaklah mudah, apalagi dengan lokasi yang sangat
membahayakan seperti itu, belum lagi para penambang harus extra hati-hati dalam
memandu dan membawa para wisatawan, karena itu sudah menyangkut nyawa
seseorang, salah satu langkah saja sudah
fatal akibatnya.
Mereka
bagaikan budak ekonomi di era Globalisasi seperti saat ini, tenaga yang mereka
keluarkan tak sebanding dengan apa yang mereka terima. Setiap keringat yang
mengucur dari tubuhnya, tak sebanding dengan nikmatnya setiap makanan yang ia
telan. Sungguh miris kehidupan para penambang belerang seperti mereka ini. Saya
akhirnya mengerti mengapa para penambang tersebut selalu meminta sebatang rokok
kepada beberapa pengunjung, karena ternyata satu kilogram belerang yang mereka
bawa saja tidaklah cukup untuk membeli sebatang rokok yang mereka hisap
tersebut. Bahkan, dari setiap kilogram yang mereka bawa, dengan keringat deras
yang mengucur, dari setiap kilogram yang melukai punggung kecil mereka ada
perjuangan untuk bisa bertahan hidup, dari setiap kilogram yang meremukkan
tulang mereka yang ringkih ada seuntas senyum dan harapan bahwa mereka akan pulang
dengan membawa uang untuk membeli beras kepada istri yang menunggu di rumah.
Maka dari itu, ayo kita jangan sampai lupa untuk bersyukur atas apa yang sudah kita miliki saat ini,
Mereka yang sudah tua saja masih semangat, kenapa kita tidak??